Break Up Every Night

Bahasa, Comedy, Ficlet, Fluff, Horror, PG, Romance

original.jpg

Brian & Karin

Ficlet | Romance, Fluff, a lil bit comedy but creepy haha | PG

am I in love with you? or am I in love with the feeling?

‒ Break Up Every Night‒

Pinggiran jalan yang lengang itu cukup instagramable untuk sekedar diduduki Brian. Memang bukan jalan yang akan dilewati oleh manusia normal, karena rumor bodoh hantu penunggu tanpa kepala yang sebenarnya hanya akal-akalan Brian untuk  menguasai trotoar instagramable itu.

Menthol di sudut bibirnya tinggal seperempat sebelum berakhir begitu saja diinjak oleh Converse hitam pemberian Mia ‒kekasih Brian yang sebenar-benarnya. Angin malam sedang dingin-dinginnya, hanya ada satu dua kendaraan yang lewat, dan segerombolan anak di ujung jalan ‒entah anak manusia atau anak setan. Tidak ada yang istimewa disana kecuali atensi yang diberikan Karin padanya.


“Hei” nafas mint Brian singgah di penciuman Karin. Aromanya bercampur dengan bau-bau ketidakpastian Brian ‒well bullshit, gadis itu sudah hafal gelagat aneh pria berambut hitam di sampingnya selama kurun waktu delapan tahun sepuluh bulan purnama jika dihitung dengan kalender suku Maya. Selama itu pula dirinya menjalin hubungan aneh tapi manis, sedikit gila dan tidak waras. Membuat paham yang hanya mereka berdua pahami, lebih ke ideologi sinting yang belum pernah terpikirkan sebelumnya ‒yang jelas bukan tipikal hubungan manusia kebanyakan. Sungguh brilian!

Jemari Karin menyusuri rambut hitam Brian pun bibirnya menyenandungkan lagu favorit mereka berdua. Satu hal diantara hal-hal lain yang tidak bisa gadis itu lakukan jika bersama kekasihnya, Mino. Prianya lebih suka memoles rambut dengan wax sehingga menghambat imajinasi sliping through my finger di benak Karin. Hal yang disukai gadis itu sederhana saja; cukup duduk diam menikmati suasana malam tanpa hidangan di atas meja, tanpa dekorasi bunga atau lilin aroma, dan frasa yang dirapal Brian menandangi gendang telinganya berulang kali, “Aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu”.

Karin tergelak, kedua lesung kecil diantara sudut bibirnya adalah akumulasi dari seluruh pesonanya. Brian menikmati setiap senti paras gadis itu, tidak ingin melewati malam-malam tanpa tawa Karin yang terdengar seperti lonceng bel sekolah. Sangat menyenangkan dan selalu ia nantikan. Sungguh bahagia rasanya.

“Sayang” Brian menatap lama mata abu-abu Karin.

“Hmm” gumam Karin sembari mengeratkan pelukannya dan menelusup ke dada bidang Brian mencari kehangatan.

“Lain kali perhatikan langkahmu jangan melamun, kau tau aku tadi hampir saja berlari menghampirimu kalau saja aku tidak terikat lengan Mia”

“Iya”

“Aku tau Mino akan mengurusmu tapi tetap saja rasanya kurang jika aku tidak melakukan apa-apa” Brian menghembuskan nafas. Karin menelusuri tulang hidung Brian. Figur tinggi pria itu merengkuh pundaknya.

“Sudah berapa kali kita kencan di tempat yang sama, hmm?”

“Entahlah, aku tidak peduli”

“Kau tidak cemburu kan?”

“Memang aku punya hak untuk cemburu? Karin berhenti sejenak untuk menghela nafas.

You know sekarang aku dan sepatuku sama-sama tidak memiliki hak” suara gadis itu terdengar sendu. Brian melempar pandangan datar kau-kenapa-sih pada flat shoes merah Karin. Pria itu ingin tertawa tapi tidak tega, ceruk bibirnya berdiri di ambang garis pilu ‒terlihat lucu di mata gadis berambut coklat ini. Karin menangkup rahang pria di depannya, “Wajahmu yang seperti ini hanya boleh ditunjukkan padaku, mengerti?”.

“Egois” Brian lantas terkekeh.

“Ya, aku selalu egois atas dirimu” dan sebuah kecupan menyapa pipi Brian bertepatan dengan bunyi jam yang berdentang satu kali, pertanda bahwa mereka harus mengakhiri hubungan gelap ini di ujung malam.

“Sekarang jam duabelas lebih satu” bisik Brian.

“Jadi, selamat pagi” pria itu tersenyum geli.

“Kau gila” umpat Karin.

“Aku selalu suka mulutmu yang mengumpat itu, sini aku beri pelajaran”

Karin menaikkan alisnya sebelum bisa membaca maksud Brian, pria itu sudah lebih dulu mengungkapkan rasa sayangnya di atas bibir plum Karin. Mengantarkan getaran asing dengan beragam definisi. Brian tidak bisa ditebak sebagaimana matriks-matriks yang kaku itu, ia seperti integral yang misterius dan tricky. Beberapa helai rambut hitam pria itu menyentuh wajahnya halus. Karin teperangah, ia takjub melihat bagaimana mata Brian tertutup begitu indahnya. Dahi pria itu yang lapang tampak berkilau keperakan ditimpa cahaya bulan. Selama yang ia pelajari Karin tidak pernah tau bahwa ciuman itu nyawa taruhannya.

‒Fin‒

Leave a comment